REALITY show kompetisi MasterChef Indonesia cuma melahirkan chef Juna Rorimpandey sebagai idola? Hmmm, bisa jadi benar. Tapi bukan berarti tidak ada kontestan yang menyedot perhatian.Paling tidak kalau perhatian kita tertuju pada sosok kocak dan lugu, Sarwan (40). Keserbatidaktahuan dan keluguannya justru menjadi daya tarik, bahkan menjelang babak kesepuluh menjadi keunggulan lelaki asal Bojonegoro ini. Sarwan tidak saja berhasil meningkatkan kemampuannya mempertajam citarasa masakannya, tapi juga mampu memukau Chef Master Juna Rorimpandey yang galak dan pelit pujian.
Sarwan mampu mengadaptasi dan mengkreasi beberapa resep “susah’ yang diperagakan juri dengan nyaris sempurna.
“Aku datang ke sini saja sudah bersyukur. Bisa belajar memasak dan bertemu orang-orang hebat. Pokoknya di sini aku cuma mau belajar, semua berhubungan baik, kuanggap teman,” celoteh pria yang berdomisili di Surabaya ini.
Kepolosan dan kekocakan Sarwan sangat nyata ketika kami temui di sela-sela syuting. Tak cuma teman, chef master, tapi hampir semua kru tampak akrab dan menyukai pembawaannya yang ceria. Tapi bagaimana Sarwan menerima kritik yang mengatakan segala yang dia tampilkan adalah bagian dari skrip ataupun pura-pura belaka?
“Aku sih terserah orang mau ngomong apa. Semua yang aku tampilin benar-benar aku apa adanya. Aku enggak melebih-lebihkan, enggak mengurang-ngurangi. Aku pun begini saat di kampung dan di kantor,” imbuh Sarwan yang tampaknya tidak terlalu terganggu dengan berbagai komentar miring tentangnya. Sarwan bukan tidak menyadari, karena dia pun sering mendapat pertanyaan soal ketidaksukaannya pada daging.
“Sumpah. Aku ini tidak makan daging dari kecil. Kalau ikan, telur, makan,” kata suami dari Umiyatin ini. Sarwan terkenang kejadian saat dia masih duduk di bangku SD. “Aku jadi enggak suka makan daging karena waktu kecil saat ada acara di kampung, aku kebagian daging yang banyak gajihnya (lemak-red) dan ada bulunya. Saya mual dan muntah, sejak itu enggak mau makan daging lagi,” kenang Sarwan. Tapi kelemahan itu, hebatnya justru bisa jadi kekuatan. Sarwan yang mengandalkan kekuatan rasa masakan Indonesianya, jadi lebih teliti membaca resep dan mengamati cara memasak yang diajarkan.
Hasilnya pada beberapa tes yang mengharuskan kontestan mengolah daging, Sarwan bisa memenangkan kompetisi dan dipuji ketiga chef. Sejak kapan Sarwan suka memasak? ”Sejak kecil. Tapi waktu di kantor aku biasa disuruh masak. Aku masak apa saja yang ada. Semua bilang suka,” ingat Sarwan. Dari situ niatnya untuk ikut MarsterChef terbetik dan atas dorongan teman-teman dan istrinya, ia mendaftar.
Pengalaman yang didapat sejauh ini belum banyak mengubah sikap Sarwan. Paling tidak Sarwan masih tetap kocak. “Dan ndeso-nya masih,” kata Sarwan. Ia kerap masih canggung dengan kata “populer”. “Waktu ke Dufan saya malu memperlihatkan muka saya pada orang-orang. Pengunjung di sana heboh. Mereka ramai minta foto. Aduh, aku maluuuu banget,” bilang Sarwan.
Kekocakan Sarwan juga ditujukan tiap ditanya soal chef favorit. Kalau kebanyakan orang menyukai Juna, Sarwan yang sudah berpisah dari ayah kandungnya sejak usia sebulan, mengidolakan chef Vindex. “Waduh saya melihat sosok kebapakan dan bijaksana dari beliau. Sudah pintar, baik, pokoknya saya senang melihat dia,” terang Sarwan.Office Boy Yang Dapat Dukungan Penuh Sang Bos
Sebelum menjadi kontestan MasterChef Indonesia, orang sudah tahu Sarwan bekerja sebagai office boy. “Aku bersyukur bekerja di kantor yang memiliki bos sangat baik.” Sarwan bisa sampai ke MasterChef karena dibiayai sang atasan. “Aku tadinya tidak mau berangkat. Nanti biaya ke Jakarta bagaimana? Keluargaku bagaimana? Tapi bos aku, Pak Anton, bilang pokoknya maju saja jangan mikirin yang lain. Keluarga, pekerjaan, nanti semua tetap dibayar. Pokoknya dia menyuruh untuk maju terus, siapa tahu itu masa depanmu, mencari pengalaman. Benaran, Pak? Iya kamu harus percaya, Tuhan pasti mendengarkan orang yang benar-benar mau maju,” beber Sarwan menerangkan obrolannya dengan sang atasan.
Waktu mendapat panggilan ke Jakarta, Sarwan sedang bersama rombongan perusahaannya yang sedang ke Bali. “Setelah itu teman-teman memberi ucapan selamat. Jadi artis kamu, jadi artis.“ Tapi bukannya lega, Sarwan malah pusing.
Kali ini bukan soal biaya, melainkan karena kabar buruk dari istrinya. “Waktu mendengar kabar lolos ke Jakarta, eh rumah aku malah kebobolan maling. Semua ludes enggak tersisa. TV, barang dagangan, dan lain-lain. Membuat aku malah down. Kasihan sama istri enggak punya apa-apa, masa ditinggal ke Jakarta. Mana masih punya utang,” cerita Sarwan. Saat hendak berangkat, Sarwan kembali terbentur biaya dan sekali lagi bosnya turun tangan. Dia diberi pinjaman 4 juta yang digunakan untuk membeli tiket, ongkos, uang pegangan, dan beli televisi buat istrinya.
“Pokoknya Pak Anton itu baik sekali. Pesan dia untuk saya hanya: kamu harus menang! Aku tetap digaji dan diminta untuk konsentrasi ke MasterChef,” tukas Sarwan.
Jadi Tukang Angkut Air dan Perlakuan Kakak Tiri Yang Tak Mengenakkan
Masa kecil Sarwan boleh dibilang jauh dari kata menyenangkan. “Aku tinggal di Bojonegoro yang kalau hujan banjir, kalau kemarau kering kerontang,” beritahu pria kelahiran 11 Oktober 1971. Menelusuri masa lalunya, Sarwan hanya bisa tersenyum getir. “Aku sudah tidak mengenal ayah sejak umur sebulan karena ayah dan ibu aku bercerai. Sejak kecil aku sudah terbiasa bekerja,” cerita Sarwan. Sehabis sekolah Sarwan biasa mengerjakan berbagai pekerjaan kasar, mengambil air, memanjat pohon asam, mencari kayu bakar, lalu dijual. Meski capek aku lakukan demi membantu orangtua dan bisa sekolah,” kata Sarwan ceria.
Dalam masa-masa sulit itu keluarga Sarwan yang bekerja sebagai buruh tani jarang sekali bisa makan nasi putih. “Biasa makan gaplek dicampur nasi putih. Lauknya ikan asin, dan kalau orang kampung kan yang penting pedas,” urai Sarwan. Beranjak remaja, kisah sedih belum beranjak dari kehidupan Sarwan. Dia banyak bertentangan dengan kakak tirinya. “Aduh aku enggak mau menyebutkan bagaimana mereka memperlakukan aku. Aku tetap menegur tiap berpapasan. Namanya manusia mungkin saja dulu khilaf,” Sarwan bersikeras menolak menceritakan. Tapi karena kami pancing, kami pun mendapat gambaran lebih jelas. Anak-anak dari ayah tiri Sarwan memperlakukan Sarwan seperti orang lain dalam rumah mereka.
Puncaknya Darwan diusir dari rumah.
“Sedih banget. Tapi aku sejak kecil sudah hidup susah, jadi yang terpikir aku harus cari kerja. Seingat aku waktu itu baru lulus SMA, ya aku bekerja serabutan, apa saja untuk hidup,” kata Sarwan. Dendam? ”Sama sekali tidak. Malah kalau bisa kelak kami bisa rukun sebagai satu keluarga. Pokoknya silaturahmi itu harus dijaga,” jelas Sarwan.
Berkecimpung di dunia yang berbeda dengan pekerjaannya sebagai office boy otomatis membuka wawasan Sarwan. Cita-cita dan impian Sarwan pun berubah. “Tapi aku tidak mau muluk-muluk. Nantinya apa pun tawaran yang datang, aku mesti konsultasi pada Pak Anton. Aku enggak mungkin meninggalkan dia. Kalau ada orang yang menawarkan gaji lebih besar, aku akan bilang ke Pak Anton. Aku akan tetap menuruti kata Pak Anton,” urai Sarwan hati-hati.
Andai bosnya mengizinkan dan ada kesempatan berkarier di Jakarta, Sarwan mengatakan akan menerima.
“Pada dasarnya semua kesempatan, apa pun itu bentuknya, mau jadi tukang masak, mau jadi apa aku terima. Asal bisa maju, bisa menghidupi keluarga,” terang Sarwan. Sarwan tidak menolak bila pihak RCTI memberinya satu program. “Tapi program apa? Wong aku ini juga bingung kalau disuruh ngomong ini itu, apalagi bahasa Inggris,” jelas Sarwan terkekeh.
Cita-cita terbesar Sarwan adalah membahagiakan istrinya, Umiyatin, yang bekerja sebagai guru mengaji, dan ibunya. “Aku ingin membelikan rumah untuk ibu. Aku ingin memberikan hadiah istimewa pada istri. Apa? Ada deh, rahasia pokoknya,” kata Sarwan sok misterius. Satu lagi, Sarwan ingin sekali membantu sepupu, bibi, dan keponakannya. “Aku ingin membantu biaya sekolah keponakan. Minimal sampai SMA,” pungkas Sarwan tulus.